Kamis, 16 Juli 2015

Maaf, Ini (masih) Tentangmu

Selamat malam pria bermata elang, entah ini hari keberapa aku menggilai pesonamu. Bagiku pesonamu tidak pernah ada habisnya. Layaknya gunung yang tak mungkin dapat direngkuh, bayangmu seakan berarak menjauh membawa rindu yang semakin bertunas. Lihat jauh kedalam mataku maka akan kau lihat tersirat rindu yang tak pernah tuntas ku suratkan.

Hari ini aku menulis tentangmu lagi. Maaf aku tidak meminta izin kepadamu terlebih dahulu sebelum menjadikanmu tokoh utama dalam ceritaku. Aku takut mengganggu sederet aktivitasmu dan jadwal prektikmu.  Jadi kubiarkan kata demi kata mengalir menyusun sebuah cerita rindu. Kamu tidak keberatan bukan ?

Selarut ini mataku masih terjaga menunggui kabar darimu. Betapa berarti sebuah pesan singkat meskipun kamu hanya menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Iya, kamu selalu mengkhawatirkan kesehatanku lebih dari kesehatanmu sendiri. Bahkan seperti kejadian pertama kita bertemu di dalam sebuah bus yang menuju kota terbesar ketiga di jawa timur. Kamu memberikan jaket tebalmu untukku ketika kamu melirik seorang gadis disampingmu meringkuk kedinginan karena AC. harum jaketmu bahkan sampai saat ini masih begitu melekat serta memikat seluruh hatiku.

"Pakai ini dulu"  ingatku ketika aku berniat mengembalikannya padamu. Ternyata hatimu begitu lembut sangat berbeda dengan raut tegasmu . Udara gunung begitu dingin seolah menghangat oleh senyum yang merekah disudut bibirmu.

Pantaskah aku merindumu sedalam ini ? Sedangkan kamu hanya sebuah angin yang berhembus hanya untuk menggoyangkan dahan. Semenjak pertemuan pertama kita di dalam bus antar kota, aku tak pernah menemuimu lagi. Bagaimana bisa 4 jam bisa mencairkan hati yang telah lama beku. Bahkan menimbulkan rasa yang entah darimana datangnya hingga berhari hari.

Akankah tangan Tuhan akan mempertemukanku lagi padamu ? Bukankah rindu hanya dapat diobati dengan sebuah pertemuan ?  Lengan Tuhan dengan kuasanya akankah mampu merangkul aku dan kamu ? Aku lelah, aku jenuh dan aku bosan hanya melalui telepon genggam aku dapat mendengar suaramu, hanya melihat sesosok tengah tersenyum dibalik layar telepone genggam. Nyatanya ada jarak sepanjang 19 KM.Aku merindukan wangi parfummu, merindukan saat tertidur dipundakmu. Ah, aku selalu mengingat setiap detik momen bersamamu.

Selama ini aku bukanlah orang yang dapat dengan mudah menjatuhkan hati, entah kenapa saat bersamamu aku merasa nyaman. Dan kini aku yakini, ini bukanlah sebuah rasa biasa. Rasa galau yang luar biasa dan rasa resah yang ekstrim kala kamu sibuk seharian dengan setumpuk tugas kuliahmu, jadwal praktik  dan tanggung jawab yang senantiasa kamu pikul dipundakmu.

Ini bukan rasa biasa, rindu yang semakin menjalari seluruh hati. Kau tahu, perasaan ini mulai berkecambah. Apakah kamu merasakan hal yang sama denganku ? Tentu saja tidak. Kamu terlampau sibuk untuk hanya memikirkan gadis yang kau temui didalam bus.

Kamu tahu tuan, kamu adalah yang akhir-akhir ini terselip di dalam doaku. Entah mengapa setelah menyebutmu dalam rangkaian kalimat-kalimat indahku padaNya,  aku seperti merasa kamu berada di dekatku.  Mungkin ini karena aku terlampau berat memikul rindu. Kapankah aku dapat menikmati senyummu kembali ? Akankah kudengar lagi tawa renyahmu yang tak hanya dapat kunikmati dari ujung benda pintar bernama handphone ? Kamu mungkin akan tertawa membaca tulisan sampah tak bernilai ini. Kamu pasti menertawai mimpiku untuk bertemu denganmu kembali.

Kamu pasti juga akan tertawa kembali ketika aku mengatakan jika sebuah "kamu lagi apa ? Aku lagi istirahat mau sholat nih. Kamu jangan lupa sholat ya disana" adalah sebuah kalimat sederhana yang mampu membuatku melekuk senyuman. Kamu mungkin akan berkata aku terlampau berlebihan dalam mengartikan sebuah perhatian kecil darimu.  Untaian kata-katamu begitu manis bak alunan lagu berdawai yang membuatku terlena.

Aku masih terjaga selarut ini, hingga bintang berkelap menyapa sang rembulan yag menyuruhku untuk memejamkan mata. Kuucapkan selamat malam kepada rindu yang menusuk ulu hati, ijinkan aku untuk sejenak lepas dari bayangmu. Semoga rindu ini hanya sebuah mimpi, semoga pertemuanku denganmu kemarin hanyalah sebuah ilusi yang tak nyata hingga aku tak perlu meninggikan harap yang nantinya akan kamu jatuhkan. Selamat tidur, pria bermata elang :)

Senin, 15 Juni 2015

Untukmu Yang Selalu Menungguiku



Kemarin aku usil membaca tulisan tulisan galau di blogmu. Disitu aku membaca tulisan yang paling atas dan paling segar yang berjudul "Tepat di hari ke 23 semenjak pertemuan pertama kita" . Hatiku sedikit tergelitik membacanya, baru ku ketahui perempuan yang duduk disampingku di dalam bus antar kota begitu indah memainkan imajinasinya. Aku mrmbacanya perlahan dari kata pertama hingga kata terakhir yang tertulis "dan yang paling sering kamu buat menunggu"
aku sedikit tersinggung jika lelaki yang kamu maksud itu adalah aku. Bukankah aku selalu mengatakan bahwa kesibukanku disini untuk hal yang positif. Aku tidak pernah mengabaikanmu seperti yang kamu bilang didalam tulisanmu. Bukankah selalu ku katakan, aku berbeda dengan lelaki lain. Mungkin kamu terbiasa dekat dengan lelaki yang memiliki banyak waktu untuk sekedar menelponmu atau menjemputmu kuliah.
Bahkan kemarin setelah aku membaca tulisanmu, ditengah istirahat makan siang kusempatkan meraih telepon genggamku untuk menelponmu. Suara lembutmu diseberang sana sebenarnya cukup membuatku semangat kuliah dijurusan yang tak pernah kuingini ini. Ku dengar kamu mulai mendakwaku dengan berbagai pernyataan. Katamu, kamu bukan prioritasku. Katamu, aku memiliki orang yang lebih aku prioritaskan untuk aku beri kabar. Dan katamu lagi, aku selalu mengabaikanmu dan mulai menjauhimu secara perlahan.
Hey gadis yang 23 hari lalu duduk disebelahku di dalam bus antar kota, aku tidak memiliki niat sedikitpun untuk menjauhimu. Bukankah kamu tahu aku bukan lelaki seperti itu. Suaramu semakin tak lembut membuat amarahku memuncak. Dengan tega ku katakan padamu, prioritasku bukan kamu melainkan pasien. Iya, pasien lah prioritas utamaku. Dididik dengan dididikan yang semi militer membuatku memiliki semangat membara untuk mendharmakan baktiku sepenuhnya untuk NKRI. mengabdikan diriku untuk kesembuhan orang lain. tanpa harus kukatakan pasti kamu sudah mengerti bukan.

Diseberang telepon kudengar kamu sesenggukan, iya pasti kamu menangis. Maaf, ucapku lirih padamu. Aku meminta maaf padamu jika aku tidak pernah mengerti kamu, mengerti hatimu. Namun bukankah 23 hari adalah waktu yang sangat singkat untuk mendoktrin bahwa kamu menaruh hatimu padaku ? Aku tidak yakin pada cinta pada pandangan pertama. Karena cinta pada pandangan pertama kuanggap sebagai suatu ketertarikan sesaat.
Maaf jika aku selalu membuatmu menunggu sekali lagi aku minta maaf. Maaf jika selama ini kamu bukan prioritas utamaku. Namun, bukan berarti kamu tidak penting. Kamu sangat penting. Sepagi mungkin kamu selalu membangunkanku, mengajakku untuk sholat dan tak pernah lupa mengingatkanku makan. Kamu seorang ahli gizi, kamu selalu mengaturku dalam hal makanan. Katamu, aku harus banyak makan sayur dan mengkonsumsi buah-buahan bervitamin C untuk daya tahan tubuh. Kamu selalu bilang aktivitasku yang padat dapat dengan mudah menjadikan daya tahan tubuhku menurun. Katamu lagi, bagaimana bisa aku menjadi pelayan dan merawat orang lain jika tubuhku lemah. Katamu bagaimana bisa aku menyembuhkan orang lain sedangkan aku sendiri sakit. Kamu juga selalu mengingatkanku untuk tidak makan makanan cepat saji kecuali jika keadaan memaksa.
Kamu penting Ahli Giziku, perhatianmu selalu menjadi apa yang aku rindukan darimu. Aku tidak sepandai kamu dalam menulis, namun dengan ini semoga kamu membaca dan kamu lebih memahami keadaanku. Beri aku sedikit waktu untuk meyakinkan diriku bahwa kamu adalah seorang perempuan yang dikirimkan oleh Tuhan untuk menjaga hati seorang pelayan kesehatan sama sepertimu. Bersabarlah, ahli giziku.

Minggu, 14 Juni 2015

Tepat Hari ke 23 Sejak Pertemuan Pertama Kita



Alunan musik jalanan yang dilantunkan pengamen di dalan bus antar kota sore ini membuatku mengingatmu lagi. sinar matahari sore masuk menerobos tirai berwarna putih tulang yang lusuh disepanjang kaca. Hari ini tepat 23 hari aku mengenalmu. Belum lama memang, tapi rasa yang kamu ciptakan sungguh telah merebut ruang didalam hatiku.
Aku kangen kamu. Tiga kata yang terus menerus aku pendam semenjak 23 hari yang lalu. Kamu sama sepertiku, sama-sama mengabdikan dharma baktimu untuk ibu pertiwi. Aku mengerti betul bagaimana sibuknya kamu di sana. Kamu bukan lelaki yang bisa menjemputku sepulang kuliah seperti lelaki lain. Aku pahami itu, demi kebaikanmu dan masa depanmu aku rela bersabar. Hanya kamu hubungi 3x dalam sehari aku terima, kau bilang sibuk mengurus ini, sibuk kuliah pagi, tugas ini itu, askep dan segenap beban lainnya yang kamu pikul.
Pernah aku membaca dalam sebuah buku, bahwa tak ada obat lain selain bertemu ketika sedang merindu. Mungkin disini hanya aku yang merindu, tidak ada kata saling disini. Iya aku yang berjuang sendirian. Bukankah kamu memang tidak pernah mau tau tentang apa yang aku rasakan ? kamu selalu membiarkan aku mengais puing puing rindu sendirian. Meringis dalam sendu dan meratap dalam pilu.
Sadar memang, aku bukanlah siapa siapa untukmu. Mungkin hanya sebatas teman satu almamater yang tak lebih dan tak kurang. Namun salahkah jika ada perasaan lebih yang bergejolak dalam nurani untuk memilikimu ? menyentuhmu, menyatukan jemariku dalam ruas ruas diantara jemarimu adalah asaku. Bisakah kamu sedikit memahami membaca dan menafsirkan apa yang tersirat di dalam mataku  ?
Kamu pikir menahan sebuah rasa itu enak ? kamu pikir menunggu itu tidak menyesakkan ? kamu tidak tahu dan tidak akan pernah tahu begitu bodohnya aku menunggu sebuah kabar darimu. Yang mungkin telah ada yang lebih kamu prioritaskan. Lebih penting untuk kamu kirimi sebuah kabar. Tentu saja bukan aku jawabannya.
Apakah salah, dalan waktu sesingkat ini aku menaruh harap kamu memiliki rasa yang sama denganku ? Kadang lelah aku menunggu kabar darimu, sakit melihatmu  online di jejaring sosialmu namun kau abaikan pesan singkatku. Apakah ini yang dinamakan penolakan ? Apakah ini suatu pertanda bahwa aku bukanlah prioritasmu. Pasti ada diluar sana yang lebih menjadi prioritasmu. Sebagaimana keras usahaku untuk menemuimu, seberapa keras usahaku mencuri perhatian darimu tidak memungkinkan kamu untuk memilihku sebagai prioritasmu.
Seberapapun besar aku mengemis perhatian darimu kurasa semua tiada berguna, kamu lebih memilih menyerahkan seluruh perhatianmu kepada orang lain yang menurutmu dialah prioritasmu. Aku tau pendidikanmu mahal, aku mengerti betul dengan mudah kamu dapat mendapatkan gadis yang kau inginkan.
Aku ingin semuanya kembali ke awal kita berkenalan. Didalam sebuah bus antar kota. Aku sangat ingat betul, kamu memakai seragam khas hari rabu-kamis yang sama sepertiku hanya saja kerahmu berwarna kuning sedangkan aku bewarna biru lengkap dengan atribut sebuah kampus kesehatan. Sangat kuingat betul caramu memperkenalkan dirimu. Matamu tajam seperti elang, alismu begitu indah kamu terlihat tampan dengan balutan seragam dan senyum manismu.
Begitu renyah tawamu membuang kesan menyeramkan seperti yang aku takutkan ketika aku bersekolah dasar dulu. Ya, bagiku perawat itu menakutkan datang ke sekolah melakukan imunisasi dan membawa benda yang sampai saat ini aku takuti. Suntik. Kamu membuatku tidak bosan duduk berjam jam dalam bus yang telah usang dan pengap. Kamu begitu asik menceritakan kehidupanmu menjadi seorang perawat. Sesekali aku melirikmu untuk sekedar ingin melihat alismu yang membuatku jatuh hati.
Awalnya kamu pernah sangat hangat sebelum akhirnya kamu menjadi sangat dingin. Taukah, hati ini selalu berkecamuk saat kamu menghilang tanpa kabar. Maafkan aku yang selalu bersikap kekanakan mendakwamu untuk selalu memberiku kabar. Maafkan aku jika sikapku membuatmu merasa jenuh. Maafkan aku membuatmu merasa tak nyaman. Maafkan aku mengganggu pekerjaanmu. Maafkan aku yang selalu mengemis perhatian darimu. Dan maafkan aku hingga aku menulis seperti ini.
Tuan, tolong aku minta tolong kembalilah seperti dulu. Aku telah beku dengan dinginmu. Aku tak bisa dan tak tau bagaimana caranya berjalan mundur karena kurasa aku telah berjalan cukup jauh ke dalam duniamu. Tolong kak, jangan kamu suruh aku untuk mundur. Karena jika aku mundur aku takut tak akan bisa kembali lagi.
Kumohon, jujurlah kepadaku. Jangan buat aku terus menunggu dan menaruh harapan kamu akan menjemputku setelah kemarau ini berakhir. Aku terima kejujuranmu jika memang kamu telah memiliki seseorang yang kamu jadikan prioritas. Aku terima maksudmu bahwa kamu adalah orang yang setia adalah setia pada satu wanita yang kau sebut prioritasmu.
Jika kamu jujur, aku berjanji padamu tuan perawat tak usah kamu antarkan kembali pun aku telah tau bagaimana berjalan mundur dan berbalik arah. Hingga tak perlu kamu ajak aku berjalan hingga semakin jauh, dan semakin tersesat dalam liku-liku hatimu.
Siapakah wanita itu ? Siapakah prioritasmu, katakan padaku hingga aku tahu bagaimana caranya mencegah kakiku untuk melangkah menuju jurang yang sangat curam didepanku. Hingga kamu  tak perlu lagi mengobati apa itu luka dan tak perlu mendengar rintihan lara yang kamu timbulkan.
                                                                                                                Sincerely,
                                                                Seorang gadis yang sealmamater dengan kamu dan yang paling sering kamu buat menunggu.



Kamis, 04 Juni 2015

Masihkah Pantai Terasa Indah Jika Tanpamu ?



Deburan ombak di pantai adalah yang paling bisa menghadirkan bayangmu di memoriku. Bagaikan dipukul mundur, mengingat semua masih terasa indah. Berlari-lari kecil di pantai kala senja bersamamu adalah hobi baruku semenjak aku mengenalmu di dalam sebuah bus antar kota. Pria penyuka pantai dan pengagum senja yang mengajariku banyak tentang arti kehidupan. Membuat aku menjadi pecandu pantai sama sepertimu.
Katamu hidup tak hanya seperti pohon nyiur di tepi pantai yang hanya meneduhkan beberapa orang, kamu selalu menyuruhku untuk menjadi sebuah karang yang berdiri tegar meskipun ombak selalu berusaha mengikisnya. Kamu yang selalu mengatakan aku tak boleh manja meskipun aku terlahir sebagai anak semata wayang.
Kamu indah, seindah pesona senja di tepian laut. Duduk berdua denganmu ditepian pantai sembari menanti mentari hilang di garis cakrawala adalah salah satu favoritku. Aku menyukainya terlebih ketika sang mentari membuatmu memicingkan mata elangmu. Alismu yang tegas serta hidungmu yang macung. Ah, semua menjadi candu bagiku.
Suatu kemustahilan jika kamu menyuruhku melupakan semua tentangmu. Bukan aku tak bisa, namun tak ada sedikitpun terbersit niat untuk melakukannya. Bukankah kamu yang selalu meyakinkan aku atas semua keraguanku terhadapmu ? kamu meraih kedua tanganku, kau tatap mataku lekat lekat dengan mata elangmu seaakan kamu tak ingin kehilanganku ? katamu, kamu itu seperti sebuah perahu nelayan. Sejauh apapun angin melambungkan layarnya dan membawanya jauh ke laut lepas, angin selalu akan mengembalikannya pulang. Walau badai sekalipun, perahu tersebut akan berusaha untuk pulang karena ada kehangatan yang menantinya di daratan.
Kamu memang seperti sebuah perahu nelayan, namun untuk saat ini perahumu tak lagi membawa jarring namun perahumu membawa pukat harimau. Kamu menghancurkan, kamu menyakiti yang bahkan tak memiliki niat sedikitpun untuk menyakitimu. Kamu menyakiti yang bahkan dapat memeluk kehidupanmu. Sedang aku kini tak lebih dari sebuah ombak yang hadir hanya untuk menyapa pantai namun selalu bergulung kembali dan tak pernah bisa tinggal untuk memeluknya.
Kamu selalu berbicara tentang berbagai filosofi laut. Seakan laut dan pantai tak memiliki tangan untuk menyakiti hingga kamu melupakan satu hal, laut tak akan segan menggulung dan menyeretmu dengan gelombangnya.
Kamu lelaki yang mebuatku jatuh cinta dengan pantai dan juga lelaki yang membuatku paling benci dengan pantai. Untukmu lelaki penyuka pantai dan keindahan senja kutitipkan salam pada jutaan ribu pasir dilautan yang pernah menjadi saksi bisu segala cerita yang setiap detiknya sangat ku hargai sebagai cerita indah, ku titipkan salamku pada karang yang mencoba tetap tegar walaupun rindu semakin mengikisnya. Terima kasih telah mengenalkanku pada sepoi angin pantai yang membuatku terlena hingga tanpa sadar gulungan ombak menyeretku jauh ke laut lepas. Pesona pantai pun kini telah sirna, meninggalkan sebuah kenangan yang tersapu perlahan oleh gulungan ombak.   



Jumat, 03 April 2015

Memeluk Jarak Dalam Dekapan Rindu



Dibalik jendela kayu disudut kamar kupandangi jutaan bintang bertaburan rindu di angkasa yang membentang di kota kelahiranmu. Bersama rindu tak terucap ingin kutitipkan salam melalui bulan yang seolah tersenyum manis kepadaku. Apa kabar, lelakiku ? senandung doa terus mengalun mengiringi derap langkahmu meniti masa depan. Tidak kah kau mendengar sayang ? rintihan hati menantimu kembali.
Sepoi angin malam membius memanggilku untuk memutar kali pertama aku menemukanmu. Tepat berselang lima hari dari tanggal kelahiranku kutemui sosok malaikat pengubah hidupku. Dalam sekejap lelaki ini dapat membuatku tersenyum bahagia namun dalam sekejap pula dapat membuatku tersentak dan mengurung hati.
Aku dan dia terpaut jarak puluhan KM. Memang bukanlah jarak yang jauh, atau mungkin banyak yang memendam rindu dalam jarak yang lebih jauh dari jarak yang kumiliki. Yang membedakan hanyalah komunikasi. Jarak puluhan KM serasa seperti ribuan kilometer saat komunikasi hanya berjalan sabtu atau minggu. Bahkan satu bulan hanya sekali berkomunikasi.
Dibilang rindu ? iya, sangat rindu. Di bilang lelah ? bagaimana tidak, jika membawa lari rindu tanpa henti dan tanpa ujung menjadi rutinitas setiap hari. Aku tak pernah menunjukkan rasa lelahku didepan lekakiku, karena aku tau dia juga lelah memperjuangkan masa depannya. Aku harus mengerti kesibukannya. Terlebih aku dengannya sama di didik dalam wadah akademi. Tentu pendidikan adalah penghalang, namun pendidikan ini kelak akan membuahkan kebahagiaan tak terkira.
Setiap kali dia mengeluh aku hanya mampu memberikannya semangat. Kubilang padanya “semangat kapten, setiap kamu lelah ingatlah ada orang tuamu yang ingin melihat anaknya memakai seragam perwira” .  dia tidak pernah mengerti bahwa aku selalu menahan keluhku saat merindu. aku selalu mengatakan bahwa tak usah memaksakan pulang jika memang tak ada libur. Biarlah aku disini mengurung rindu menantimu pulang saat libur panjang.
Lelakiku tak pernah mengerti ada rasa yang meletup ketika dering ponsel menampakkan namamu di layarnya. Sekedar kata “Hy, aku pulang lagi nih” begitu hangat mencairkan hati yang telah lama beku terkurung rindu.  Seutas senyum kecil selalu mengembang di sudut bibirku.  Namun raut kesedihan akan segera muncul ketika akhir pekan merayap mendekat. Katamu, “Aku balik dulu ya, semoga minggu depan libur dan bisa pulang lagi”. Mata ini tak kuat menyiratkan kesedihan yang mendalam. Harus ku kembali menjalani hari-hari tanpamu lagi.
Lelakiku ini juga tak pernah mengerti bahwa ada wanita yang senantiasa menyemangatinya dari pelukan senandung doa panjang ketika aku duduk bersimpuh dihadapanNya.  Dalam doaku kusebut namamu berulang-ulang, kuselipkan doa agar Tuhan segera mempertemukanmu denganku kembali.
Asaku terus bergejolak dalam dada. Kapankah semua ini berakhir dengan sebuah titik indah. Titik dimana laju kapal pesiarmu menurunkan layar dan terhenti disebuah pelabuhan. Dimana jangkarmu akan kau tautkan dan tak pernah kau angkat kembali.
Biarlah jarak menjadi ombak sementara yang mengombang-ambingkan laju perahumu. Ku yakin dengan angin yang berhembus membawa kapalmu, kupercaya Tuhan akan menghadirkanmu dihadapanku. Menghapus segala sesaknya sebuah rindu yang menggerogoti raga. Kupercaya titik temu itu akan segera hadir saat dua buah garis saling berpotongan. Ku yakin kuasaNya akan mengindahkan kisah kita serta terlukis dalam pasir di bibir pantai dan karang akan menghalangi ombak untuk menghapus keindahannya. INSPIRED BY: Sahabat (RARASATI W) yang sedang menunggu sebuah kapal besar membawa kembali kaptennya kepadanya
   

Selasa, 31 Maret 2015

Sehangat Api Unggun Malam Itu



Entah mengapa mengawali itu lebih sulit dari mengakhiri. entah hanya aku yang merasakannya atau semua orang merasa seperti itu. Bahkan untuk mengawali coretan ini aku perlu berfikir bermenit-menit. Hingga kutemukan sebuah topik yang bagiku sangat menggoda untuk di tulis. Bukan tentang persahabatan atau konflik remaja lainnya, ini tentang  kamu. Topik yang tentu saja belum berganti dari coretan-coretanku sebelumnya. Topik tentang kamu yang kusebut sebagai malaikat senja. Juga kamu yang sering kutulis sebagi tuan berbehel.
Entah mengapa topik tentangmu selalu seru, membuat fikiranku jauh lebih mudah bermain-main dengan khayalanku. Kamu seperti topik yang tidak ada habisnya untuk dibahas. Kamu tidak seperti soda yang menguap, kamu tidak seperti es batu yang mencair. Kamu awet berada didalam memori otakku  bagaikan makanan yang ditambahkan natrium benzoat. Topik tentangmu seperti kafein pada kopi, seperti theobromin pada coklat yang mebuatku ketagihan untuk memainkan jari-jariku diatas keyboard laptop.
Hari ini akan kubahas lagi tentangmu, malaikat senjaku. Sudah hampir genap satu minggu setelah perjumpaan kita aku bahkan belum pernah melihatmu lagi. Belum pernah memandang senyum manismu lagi. Namun, detik ini entah aku harus berbahagia ataukah aku harus merasa cemas. Aku merasa menjadi gadis paling kikuk sedunia, bagaimana bisa aku berharap malaikat senjaku mengirim sebuah pesan singkat di ponsel ku ? sedari tadi kutunggui, kupandangi layar ponselku. Entah, namamu tak kunjung muncul menghiasi layar ponselku. Apakah kamu sedang sibuk dengan wanitamu wahai malaikatku ?
Aku seorang gadis yang bahkan sangat dibawah garis layak untuk mendampingimu apakah pantas mengharapkanmu ? kamu sangat indah seindah semburat warna jingga dilangit kala senja karena kamulah malaikat senjaku. Apakah mungkin aku yang selama ini hanya memandangi keindahanmu dapat menyentuhmu, bahkan memiliki keindahanmu ? ingin kubawa pulang keindahanmu, pesonamu yang telah lebih dulu terpatri di dalam hatiku. Aku memang seorang gadis yang sama sekali tak layak mengharapkanmu, mungkin jika teman-temanmu gtau mereka akan menertawakanmu. Karena kamu begitu digilai oleh seorang wanita kikuk sepertiku.
Namun betapa tak punya malunya aku, yang terus berusaha memperjuangkan cintaku. Cinta yang hanya tulus untukmu. Mungkin diluar sana banyak gadis yang jauh lebih cantik jika dibandingkan upik abu sepertiku. Namun, kamu perlu berhati-hati dalam memilih wahai malaikat senjaku. Begitu kemilaunya kamu sehingga mengundang banyak mata untuk melirikmu, bahkan memilikimu. Atau mungkin diantara mata-mata yang melirikmu ada yang menjadikanmu sebagai taruhan atas permainannya.
Disini, lihat lah aku ! gadis kikukmu yang setia menjagamu. Mengawasimu dari mereka yang ingin mempermainkanmu, yang ingin menjatuhkan kemilaumu. Disini dibawah rinai hujan yang menari-nari membasahi payung merah jambu akan kutunggui kamu hingga kamu melihatku berdiri tegak diantara kerumunan penggemarmu. Disini aku gadis kikuk yang membawakanmu sebuah sweater hangat dan membawakanmu sebuah payung berwarna jingga. Pergilah bersamaku malaikatku, di sini terlalu dingin untukmu. Akan kubawa kamu menuju tempat terhangat, didepan api unggun yang menghangatkan serta pernah mempertemukan kita sebelumnya.

MY ACNE STORY PART 3 || SKINCARE ROUTINE UNTUK WAJAH BERJERAWAT

Waaa, panjang banget ya ceritanya ngelawan jerawat wkwk udah sampe part 3 segala. Ini mungkin adalah akibat dari aku yang dulu awal puberty...