Dibalik
jendela kayu disudut kamar kupandangi jutaan bintang bertaburan rindu di angkasa
yang membentang di kota kelahiranmu. Bersama rindu tak terucap ingin kutitipkan
salam melalui bulan yang seolah tersenyum manis kepadaku. Apa kabar, lelakiku ?
senandung doa terus mengalun mengiringi derap langkahmu meniti masa depan.
Tidak kah kau mendengar sayang ? rintihan hati menantimu kembali.
Sepoi
angin malam membius memanggilku untuk memutar kali pertama aku menemukanmu.
Tepat berselang lima hari dari tanggal kelahiranku kutemui sosok malaikat
pengubah hidupku. Dalam sekejap lelaki ini dapat membuatku tersenyum bahagia
namun dalam sekejap pula dapat membuatku tersentak dan mengurung hati.
Aku
dan dia terpaut jarak puluhan KM. Memang bukanlah jarak yang jauh, atau mungkin
banyak yang memendam rindu dalam jarak yang lebih jauh dari jarak yang
kumiliki. Yang membedakan hanyalah komunikasi. Jarak puluhan KM serasa seperti
ribuan kilometer saat komunikasi hanya berjalan sabtu atau minggu. Bahkan satu
bulan hanya sekali berkomunikasi.
Dibilang
rindu ? iya, sangat rindu. Di bilang lelah ? bagaimana tidak, jika membawa lari
rindu tanpa henti dan tanpa ujung menjadi rutinitas setiap hari. Aku tak pernah
menunjukkan rasa lelahku didepan lekakiku, karena aku tau dia juga lelah memperjuangkan
masa depannya. Aku harus mengerti kesibukannya. Terlebih aku dengannya sama di
didik dalam wadah akademi. Tentu pendidikan adalah penghalang, namun pendidikan
ini kelak akan membuahkan kebahagiaan tak terkira.
Setiap
kali dia mengeluh aku hanya mampu memberikannya semangat. Kubilang padanya
“semangat kapten, setiap kamu lelah ingatlah ada orang tuamu yang ingin melihat
anaknya memakai seragam perwira” . dia
tidak pernah mengerti bahwa aku selalu menahan keluhku saat merindu. aku selalu
mengatakan bahwa tak usah memaksakan pulang jika memang tak ada libur. Biarlah
aku disini mengurung rindu menantimu pulang saat libur panjang.
Lelakiku
tak pernah mengerti ada rasa yang meletup ketika dering ponsel menampakkan
namamu di layarnya. Sekedar kata “Hy, aku pulang lagi nih” begitu hangat
mencairkan hati yang telah lama beku terkurung rindu. Seutas senyum kecil selalu mengembang di
sudut bibirku. Namun raut kesedihan akan
segera muncul ketika akhir pekan merayap mendekat. Katamu, “Aku balik dulu ya,
semoga minggu depan libur dan bisa pulang lagi”. Mata ini tak kuat menyiratkan
kesedihan yang mendalam. Harus ku kembali menjalani hari-hari tanpamu lagi.
Lelakiku
ini juga tak pernah mengerti bahwa ada wanita yang senantiasa menyemangatinya
dari pelukan senandung doa panjang ketika aku duduk bersimpuh dihadapanNya. Dalam doaku kusebut namamu berulang-ulang,
kuselipkan doa agar Tuhan segera mempertemukanmu denganku kembali.
Asaku
terus bergejolak dalam dada. Kapankah semua ini berakhir dengan sebuah titik
indah. Titik dimana laju kapal pesiarmu menurunkan layar dan terhenti disebuah
pelabuhan. Dimana jangkarmu akan kau tautkan dan tak pernah kau angkat kembali.
Biarlah
jarak menjadi ombak sementara yang mengombang-ambingkan laju perahumu. Ku yakin
dengan angin yang berhembus membawa kapalmu, kupercaya Tuhan akan
menghadirkanmu dihadapanku. Menghapus segala sesaknya sebuah rindu yang
menggerogoti raga. Kupercaya titik temu itu akan segera hadir saat dua buah
garis saling berpotongan. Ku yakin kuasaNya akan mengindahkan kisah kita serta terlukis
dalam pasir di bibir pantai dan karang akan menghalangi ombak untuk menghapus keindahannya. INSPIRED BY: Sahabat (RARASATI W) yang sedang menunggu sebuah kapal besar membawa kembali kaptennya kepadanya